.author-comments { background: #333333; border: 2px solid #666666; padding: 5px; }

Senin, 11 April 2011

Peran Serta Masyarakat di dalam Perencanaan

lumayan mencari sosok Sherry r Arnstein yang terkenal sebagai"Ladder of participatory"  untuk memenuhi tugas TePe (Teori Perencanaan). Cari fotonya aja..buuuh...susahnya minta ampun dah...
Tapi Alhamdulillah, hari ini aku mendapatkan tesis mengenai bahasan tersebut.

Seringkali dosen-dosen di kampus menyebutkan bahwa perencanaan itu adalah sebuah proses pengambilan keputusan. Dan dari dasar pemikirannya Sherry R Arnstein ini, mengatakan bahwa dari sudut kemampuan masyarakat untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan, terdapat tingkatannya sendiri-sendiri.

Arnstein (1969) menformulasikan peran serta masyarakat sebagai bentuk dari kekuatan rakyat (citizen partisipation is citizen power). Dimana terjadi pembagian kekuatan (power) yang memungkinkan masyarakat yang tidak berpunya (the have-not citizens) yang sekarang dikucilkan dari proses politik dan ekonomi untuk terlibat kelak. Singkat kata, peran serta masyarakat - menurut Arnstein - adalah bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam perubahan sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan bagian keuntungan dari kelompok yang berpengaruh. Lewat typologinya yang dikenal dengan Delapan Tangga Peran Serta Masyarakat (Eight Rungs on the Ladder of Citizen Participation), Arnstein menjabarkan peran serta masyarakat yang didasarkan pada kekuatan masyarakat untuk menentukan suatu produk akhir. Arnstein juga menekankanbahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara bentuk peran serta yang bersifat upacara semu (empty ritual) dengan betuk peran serta yang mempunyai kekuatan nyata (real power) yang diperlukan untuk mempngaruhi hasil akhir dari suatu proses.

Tabel 1.1 Delapan Tangga Peran Serta Masyarakat

  Dua tangga terbawah dikategorikan sebagai "non peran serta", dengan menempatkan bentuk-bentuk peran serta yang dinamakan
(1) terapi dan (2) manipulasi. Sasaran dari kedua bentuk ini adalah untuk "mendidik" dan "mengobati" masyarakt yang berperan serta.
Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai tingkat "Tokenisme" yaitu suatu tingkat peran serta dimana masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak boleh memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Menurut Arnstein, jika peran serta hanya dibatasi pada tingkatan ini, maka kecil kemungkinannya ada upaya perubahan dalam masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Termasuk dalam tingkat "Tokenisme" adalah (3) penyampaian informasi (informing); (4) konsultasi; dan (5) peredaman kemarahan (placation).

Selanjutnya Arnstein mengkategorikan tiga tangga teratas kedalam tingkat "kekuasaan masyarakat" (citizen power). Masyarakat dalam tingkatan ini memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dengan menjalankan (6) kemitraan (partnership) dengan memiliki kemampuan tawar-menawar bersama-sama pengusaha atau pada tingkatan yang lebih tinggi (7) pemdelegasian kekuasaan (delegated power) dan (8) pengawasan masyarakat (citizen control). Pad tingkat ketujuh dan kedelapan, masyarakat (non elite) memiliki mayoritas suara dalam proses pengambilan keputusan keputusan bahkan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu obyek kebijaksanaan tertentu.

Delapan tangga peran serta dari Arnstein ini memberikan pemahaman kepada kita, bahwa terdapat potensi yang sangat besar untuk memanipulasi programperan serta masyarakat menjadi suatu cara yang mengelabui (devious method) dan mengurangi kemampuan masyarakat untuk mempengaruhi proses pengambilan keptusan.

Mengapa Peran Serta Masyarakat dalam Penataan ruang perlu ?

Di dalam konteks pembangunan yang berwawasan lingkungan seluruh perizinan dan persetujuan dari suatu kegiatan pembangunan harus didasarkan pada perencanaan tata ruang. Mengapa..? Karena perencanaan tata ruang memberikan informasi tentang kegiatan-kegiatan tertentu yang melanggar ambang batas daya dukung lingkungan.
Paling tidak dalam konteks penataan ruang ini ada dua jenis kebutuhan yang mendasari peran serta masyarakat :

1. Kebutuhan fungsi kontrol
Di dalam proses penetapan maupun perubahan tata ruang seringkali berjalan tanpa dilandasi pertimbangan-pertimbangan maupun arahan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Seringkali kepentingan ekonomi jangka pendek, yang ditentukan oleh kelompok elite, secara dominan mewarnai penetapan tata ruang. Sebagai contoh penyimpangan tata ruang daerah, seringkali dilakukan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan berdasarkan pertimbangan pemasukan kas pemerintah daerah. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sebagai pemasukan kas daerah yang substansial, yang berasal dari PBB lahan kawasan non pertanian (misalnya industri) jauh lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan PBB yang berasal dari pertanian. Akibatnya, berangkat dari konsep otonomi daerah, pemerintah daerah berlomba-lomba melakukan konversi dari lahan pertanian ke lahan yang diperuntukkan untuk kawasan non pertanian (industri), walaupun daya dukung lingkungan sebebnarnya sangat tidak memadai bagi kegiatan industri.

Untuk mencegah penyimpangan seperti ini, peran serta masyarakat dapat didayagunakan untuk menjalankan peran kontrol (watchdog). Prasyarat untuk menjalankan peran watchdog yang efektif adalah : (1) akses masyarakat yang luas terhadap informasi tata ruang; (2) kesadaran masyrakat yang tinggi tentang pentingnya berperan serta; dan (3) kemampuan memahami obyek permasalahan.      

2. Kebutuhan Informasi dan Data Sosial
Peran serta masyarakat dalam perencanaan tata ruang menjadi penting dalam kerangka menjadikan sebuah perencanaan tata ruang sebagai hal yang responsif (responsive planning). Sebuah perencanaan yang responsif menurut Mc Connel (1981) adalah proses pengambilan keputusan tentang perencanaan tata ruang yang tanggap pada preferensi serta kebutuhan dari masyarakat yang potensial terkena dampak apabila perencanaan tersebut diimplementasikan.
Dalam situasi dimana perencanaan tata ruang sepenuhnya merupakan produk dari perencanaan (planner) ataupun polisi/penyelenggara negara, maka produk yang demikian biasanya sarat dengan pertimbangan-pertimbangan serta kriteria teknis (technical), ilmiah (scientific) dan ekonomis (economic) ketimbang pertimbangan sosial dan preferensi masyarakat serta etika berdemokrasi. Oleh karenanya, untuk mencegah sense of technicism dan sense of elitism dari sebuah perencanaan, peran serta masyarakat menjadi sangat perlu.
Banyak pertanyaan yang timbul tentang bagaimana menyeimbangkan antara nilai-nilai obyektif yang mengacu pada pendekatan keilmuan (scientific approach) dan nilai-nilai subyektif yang mengacu pada preferensi masyarakat (public preferences) agara tercapai perencanaan yang responsif (responsive planning). Memang ukuran yang pasti dalam menyeimbangkan nilai-nilai tersebut sangatlah sulit, akan tetapi bukanlah menjadi alasan unutuk meniadakan pentingnya preferensi masyarakat termuat dalam perencanaan. McConnel (1981) mengusulkan beberapa parameter "responsiveness" dari suatu perencanaan, yang kelihatannya mengacu pada proses, sebagai berikut :
1. Sejauh mana masyarakat diwilayah obyek perencanaan telah diberi kesempatan yang layak (reasonable) untuk terlibat dalam tahap identifikasi permasalahan, aspirasi serta kebutuhan sampai dengan pelaksanaan (implementasi).
2. Sejauh mana masyarakat yang tinggal diluar objek perencanaan, akan tetapi sering berhubungan dengan wilayah objek penelitian, diberi kesempatan yang memadai untuk terlibat dalam proses identifikasi permasalahan, aspirasi serta kebutuhan sampai dengan tahap pelaksanaan.
3. Sejauh manan kepentingan para pihak yang potensial terkena dampak ususlan perencanaan (dimasa mendatang) telah dipertimbangkan dan terwakili dalam tahap-tahap seperti dalam point 1 dan 2 diatas.

Pada Tahap Apa, Peran serta dalam Penataan Ruang Diperlukan ?
Untuk tercapai suatu perencanaan yang responsif, maka keterlibatan masyarakat harus dilakukan sejak awal proses perencanaan itu sendiri yaitu sejak tahap identifikasi permasalahan, aspirasi serta kebutuhan sampai dengan tahap pelaksanaan rencana tata ruang (lihat bagan 1.3)

Bagan 1.3 Proses Perencanaan dan Peran Serta Masyarakat

Ketika peraturan lingkungan memberi tempat yang seluas-luasnya bagi peran serta masyarakat. Terdapat banyak rumusan peran serta masyarakat yang masih mengambang atau dipasrahi pada peraturan pelaksana yang sering kali tidak kunjung datang. Tak dapat dihindari kesan terlalu legalitas dan 'kosmetik' dari peraturan-peraturan itu, yang hanya ada di permukaan tanpa menyentuh makna peran serta itu sendiri. Sperti syarat-syarat demi efektifnya suatu peran serta masyarakat yang diuraikan Hardjasoemantri (1990) tentang bagaimana mekanisme informasi itu agar tepat waktu, lengkap dan menyeluruh, serta mudah dipahami, dan yang lebih hakiki mekanisme sampai sejauh mana hak masyarakat dalam pengelolaan lingkungan itu diakui. Nampaknya apa yang disinyalir Arnstein (1969) bahwa makna 'partisipasi akan mudah tergelincir menjadi empty ritual (upacara semu) menggejala dalam peraturan-peraturan kita. Diikuti oleh "budaya diam" -dengan berbagai sebab dan alasan -boleh jadi menyebabkan keinginan tulus untuk menyertakan masyrakatguna menyelamatkan alarm bagi anak -cucu merosot ke tingkat retorik. Seharusnya jika memang secara konsisten diakui bahwa UUPLH merupakan ketentuan payung yang mengayomi peraturan perudang-undangan lingkungan lainnya, maka makna peran serta yang termuat dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi -haruslah lebih dipertegas dalam peraturan-peraturan lingkungan yang terjabar diatas.
    

2 komentar:

noviavalent mengatakan... Reply Comment
xil3m mengatakan... Reply Comment

mo ngeposting jg malez pey...
tp...aq harus sadar...
bahwa aku tuh planner...kkkkkk

Posting Komentar

Terimakasih yaaa...baex buat yang uwda baca artikel terlebih buat yang kasih coment-coment di artikelku..ntar aq jajain perment dewh..sebagai tanda terimakasih...hhiii n maaph kalau artikelku ada salah-salah kata atau yang tidak berkenan di hati( kayak bikin makalah ajaa...hhhee)